BAB VII PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBANGAN ILMU
BAB VII
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI
PENGEMBANGAN ILMU
A. Pendahuluan
Andaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya ditemukan ilmu, yaitu untuk mencerdaskan manusia, memartabatkan manusia dan mensejahterakan manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuannya sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan masyarakat.
Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang sentral dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang dikembangkannya dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Ironisnya tidak diimbangi kesiapan mentalitas sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia.
Teknologi telah merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah pola pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia sendiri (Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang serba teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakikat kodrat sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia individualis. Masih terdapat banyak persoalan akibat teknologi yang dapat disaksikan, meskipun secara nyata manfaat teknologi tidak dapat dipungkiri.
Problematika keilmuan dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek kesejarahan dan aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari sini, problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.
H. Ilmu Dalam Perspektif Historis
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, Abad Tengah, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer
Masa Yunani Kuno (abad ke-6 SM-6M) saat ilmu pengetahun lahir, kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimana pun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan abadi, di balik yang bhineka, berubah dan sementara ( T. Yacob, 1993).
Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra-Sokrates, yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh trio filsuf besar : Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang. Aristoteles membagi ilmu menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut metafisika.
Memasuki Abad Tengah (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praksis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae). Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas, pemikiran mereka memberi ciri khas pada filsafat Abad Tengah. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline of History (1951) mengatakan, “Jika orang Yunani adalah Bapak metode ilmiah, maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.
Muncullah Abad Modern (abad ke-18-19 M) dengan dipelopori oleh gerakan Renaissance di abad ke-15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18, melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasuki tahap baru atau modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran sendiri (Koento Wibisono, 1985)
Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing- masing mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya:
1. Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium Caelistium yang kemudian dikembangakan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johanes Kepler (1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh dan mendalam.
2. Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De Humani Corporis Fabrica telah melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang anatomi dan biologi.
3. Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie Naturalis Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika klasik.
Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan ilmu sosial dengan gaya semacam itu mencapai bentuknya secara definitif melalui kehadiran Auguste Comte (1798- 1857) dengan Grand Theory-nya yang digelar dalam karya utama Cours de Philosophie Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif diberi arti eksplisit dengan muatan filsafati, yaitu untuk menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1997).
Adanya faktor heuristik mendorong lahirnya cabang- cabang ilmu yang baru seperti : ilmu lingkungan, ilmu komputer, futurologi, sehingga berapapun jumlah pengklasifikasian pasti akan kita jumpai, seperti yang kita lihat dalam kehidupan perguruan tinggi dengan munculnya berbagai macam fakultas dan program studi yang baru.
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan mitos, yang akan menjamin survival suatu bangsa, prasyarat (prerequisite) untuk mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan (power) yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:
1) Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaidah-kaidah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat “sesama bus kota tidak boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.
2) Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional kebangsaan. Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju satu kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.
3) Masa transisi budaya nasional-kebangsaan menuju budaya global-mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak azasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan atau pun keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkret dalam tataran operasional.
Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan di mana pun, terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial yang dimiliknya. Dipertanyakan apakah hak-hak azasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.
Nyatalah bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks, karena masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub- culture), sedang di lain pihak muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).
I. Beberapa aspek penting dalam ilmu pengetahuanMelalui kajian historis tersebut yang pada hakikatnya pemahaman tentang sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud/memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaidah-kaidah ilmiah yang menurut partadigma Merton disebut universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, konggres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia
Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan di dalamnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut
1) Sasaran yang dijadikan objek untuk diketahu
(Gegenstand
2) Objek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan- permasalah baru yang mendorong untuk terus menerus mempertanyakannya
3) Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus dipertanyakan
4) Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento Wibisono, 1985)
Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif
Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis)
Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong kehidupan manusia ke suatu kemajuan (progress, improvement) dengan teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan- kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara fisik- material
Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilai- nilai agama, etika, yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai kedudukan substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.
J. Pilar-Pilar Penyangga Bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan
Melalui teori relativitas Einstein paradigma kebenaran ilmu sekarang sudah berubah dari paradigma lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif, rasional, metodologis, sistematis, logis dan empiris. Dalam perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis epistemologis, maupun ontologis.
Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas (validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of discovery).
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite/saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.
4. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi).
a. Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )
b. Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.
5. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita : (a) sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu (b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu (c) mengembangkan ketrampilan proses (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
6. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan (Iriyanto Widisuseno, 2009).
K. Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
1. Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
2. Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
3. Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/ konsisten, implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4. Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.
L. Masalah nilai dalam IPTEK
a. Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang dapat mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan masa lalu lebih menunjukkan keekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini. Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan berkembang ke arah keserbamajemukan ilmu.
c. Mengapa Timbul Spesialisasi?
Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan. Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu. Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi.
d. Persoalan Yang Timbul Dalam Spesialisasi
Spesialisasi mengandung segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain.
b. Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah pemikiran: (a) apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu pengetahuan, (b) saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan pertimbangan moral/etik? Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral?
Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan manusia. Kedua, membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambil. Ketiga, berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar dari permasalahan yang muncul.
b. Permasalahan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Kalau perkembangan ilmu pengetahuan sungguh- sungguh menepati janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900-an dengan menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini.
Namun dewasa ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi masalah- masalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia. Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri.
Kompleksitas permasalahan dalam pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibat- akibatnya bagi manusia. Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi?
C. Akibat Teknologi Pada Perilaku Manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen penerapan kontrol tingkah laku (behaviour control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding).
Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya masalah- masalah etis seperti berikut.
1) Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse” kimiawi, obat bius tertentu. Electrical stimulation of the brain (E S B) : shock listrik tertentu. Teknologi baru dalam bidang psikologi seperti “dynamic psychoteraphy” mampu merangsang secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bisa diatur dan disusun. Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan.
2) Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah melalui iklan atau media lain.
3) Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia.
4) Behaviour control memunculkan masalah etis bila kelakuan seseorang dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.
5) Akibat teknologi pada eksistensi manusia dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).
C. Beberapa Pokok Nilai Yang Perlu Diperhatikan Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Ada empat hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
a. Rumusan hak azasi merupakan sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu- individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.
b. Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli pengambilan keputusan dalam bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.
c. Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun berhak menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang lain di alam ini.
Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumen sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau manusiawi, perhatian pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi ( T. Yacob, 1993).
M. Pancasila Sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan strategi atau cara-cara, taktik yang tepat, baik dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan manusia.
Dalam mempertimbangkan sebuah strategi secara imperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Pengertian dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu.
Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai upaya manusia untuk mencari kebenaran yang tidak mengenal titik henti, atau ”an unfinished journey”. Ilmu tampil dalam fenomenanya sebagai masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai imperatif dalam mengembangkan ilmu adalah sila-sila Pancasila sebagai satu keutuhan.
Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.
3) Sila Persatuan Indonesia: mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.
4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5) Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.
Komentar
Posting Komentar